Dalam sebuah diskusi, seorang CEO dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana agar bisnisnya bisa melampaui prestasi perusahan lain yang sudah lebih dulu berkembang dan sangat kuat. Namun, alih-alih mencari solusi inovatif, ia merespons dengan pesimisme berat. Dengan wajah muram dia berkata bahwa hal itu hampir mustahil. Responsnya ini pasti membuat kita sangat kecewa karena itu bukanlah respons seorang leader sejati.
Reaksi CEO tersebut adalah cermin dari fenomena yang lebih besar: banyaknya leader tanpa leadership! Mereka inilah yang sekarang duduk di kursi kepemimpinan secara struktural, namun tidak memiliki mentalitas dan kualitas seorang pemimpin sejati.
Organisasi apa pun, termasuk organisasi agama dan birokrasi pemerintah, yang memiliki leader dengan mentalitas kerupuk seperti ini akan memberi dampak negatif kepada bawahan dan anak buahnya. Organisasi atau perusahannya pasti akan 'stuck', berjalan di tempat, dan ujungnya bubar. Nokia mengalaminya. Dulu Nokia menguasai dunia fotografi. Kini, ia menjadi masa lalu.
John C. Maxwell dalam The 360° Leader menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukan soal posisi, melainkan pengaruh. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu melihat tantangan sebagai peluang, bukan hambatan. Pemimpin ini selalu bertanya apa lagi yang harus saya dan kita lakukan untuk mengembangkan organisasinya.
Pemimpin sejati tidak menggantungkan masa depannya pada inisiatif orang lain, Sebaliknya, daya imajinasi dan kreatifitasnya menjadikannya inovator dengan berbagai terobosan-terobosan baru. Sayangnya, banyak pemimpin terjebak pada rasa inferior saat berhadapan dengan kompetitor yang lebih kuat secara sumber daya.
Respons yang menunjukkan pesimisme dan rasa takut adalah indikator minimnya leadership. Dalam Leadershift, Maxwell menekankan pentingnya pemimpin beradaptasi dengan cepat, berinovasi, dan berani keluar dari zona nyaman. Ketidakmampuan dan ketidakberanian melakukan inovasi membuat organisasi stagnan dan kehilangan daya saing.
Seorang leader dengan leadership kuat seharusnya memiliki keberanian menghadapi badai. Ia bagaikan kapal laut yang menerjang ombak, bukan rakit kecil yang gentar diterjang gelombang. Tantangan besar seharusnya menjadi pemantik untuk melahirkan inovasi besar.
Kualitas seperti problem-solving, creativity, dan visionary thinking adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus bertanya, "Bagaimana kita bisa melampaui keterbatasan ini?" alih-alih berkata, "Ini tidak mungkin," atau "itu impossible"
Leadership Culture
Pemimpin tanpa leadership cenderung pasif dan reaktif, bukan proaktif. Dalam The 5 Levels of Leadership, Maxwell menegaskan bahwa pemimpin yang mencapai level tertinggi adalah mereka yang memberdayakan orang lain, bukan sekadar menikmati posisi. Mereka sadar bahwa di tengah keterbatasan mereka ada kekuatan besar yang mesti diberdayakan melalui kolaborasi. Ya, kolaborasi yang positif dan melecut semua potensi besar yang dimiliki.
Yesus pun tidak melakukan misiNya sendirian. Dia merekrut dan menempa murid-muridNya. Yesus berkolaborasi dan memberi mereka keberanian untuk melaksanakan visi besar "pergilah sampai ke ujung bumi" melangkaui batas geografi dan kultural. Yesus menanamkan kepada murid-muridNya visi besar ke depan. Artinya, organisasi apa pun harus berjalan bahkan berlari tanpa henti. Bukan diam di tempat, lalu mengulang-ulang apa yang dulu pernah dilakukan.
Penting bagi organisasi untuk tidak hanya menunjuk leader, tetapi juga membangun leadership culture. Pengkaderan dan pembinaan berkelanjutan harus menjadi agenda utama, agar lahir pemimpin yang siap menerobos tantangan.
Lembaga apa pun harus menyiapkan pemimpin sejati, yaitu mereka yang memiliki empat hal: mentalitas pemenang, keberanian berinovasi, komitmen melayani, dan kemampuan berkolaborasi. Dengan kualitas ini, tantangan sebesar apa pun bukan lagi penghalang, melainkan peluang untuk menulis sejarah baru.