Richard M. Auty dalam bukunya Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis (1993) mengkritik keras negara-negara yang terlalu mengandalkan sumber daya alam (SDA) sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi. Ia menyebut fenomena ini sebagai 'kutukan SDA' (resource curse), di mana ketergantungan berlebihan terhadap SDA justru menghambat pertumbuhan ekonomi.
Melalui analisisnya terhadap Peru, Bolivia, Chile, Jamaika, Zambia, dan Papua Nugini, Auty menemukan bahwa ketidakstabilan harga komoditas global dan buruknya tata kelola menjadi penyebab utama stagnasi ekonomi. Negara-negara seperti Nigeria, Venezuela, dan Kongo mengalami dampak lebih buruk, dengan korupsi merajalela, kebijakan ekonomi yang berpihak pada oligarki, serta konflik politik akibat perebutan SDA.
Dampak kutukan SDA bukan hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga meluas ke degradasi lingkungan. Deforestasi tanpa perhitungan keberlanjutan menghancurkan ekosistem, sementara masyarakat lokal kehilangan tanah adat dan sumber mata pencaharian. Kualitas kesehatan mereka pun memburuk akibat eksploitasi yang serampangan. Degradasi lingkungan juga menciptakan bencana bagi dunia dalam bentuk pemanasan global
Namun, tidak semua negara kaya SDA mengalami nasib serupa. Norwegia dan Botswana membuktikan bahwa dengan tata kelola yang baik, SDA justru menjadi berkah bagi kesejahteraan rakyat. Keberhasilan mereka dipaparkan dalam buku Escaping the Resource Curse yang disunting oleh Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs, dan Joseph E. Stiglitz.
Norwegia membangun sistem politik yang stabil dan berintegritas. Masyarakatnya percaya pada pemimpin yang transparan dan bertanggung jawab, memastikan pengelolaan SDA dilakukan secara berkelanjutan. Botswana, meskipun berada di Afrika, menunjukkan langkah serupa dengan kebijakan ekonomi konservatif yang fokus pada stabilitas makroekonomi dan investasi jangka panjang.
Transparansi menjadi kunci keberhasilan kedua negara ini. Pemerintah membuka akses publik terhadap data pendapatan dan penggunaan dana SDA, memastikan masyarakat dapat mengawasi pengelolaannya. Korupsi ditekan seminimal mungkin dengan sistem pengawasan yang ketat.
Langkah strategis lain yang diambil Norwegia adalah pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF), yang menginvestasikan pendapatan minyak dan gas untuk kepentingan generasi mendatang. Dana ini mencegah overheating ekonomi dan memastikan distribusi kekayaan lebih merata.
Selain itu, Norwegia dan Botswana menyadari bahwa SDA bukan sumber kesejahteraan abadi. Mereka mengalokasikan dana hasil eksploitasi SDA untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM), sebagai persiapan untuk diversifikasi ekonomi.
Di Persimpangan Jalan
Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada SDA sebagai sumber utama pendapatan negara. Dengan fluktuasi harga komoditas global dan maraknya korupsi dalam sektor SDA, Indonesia berisiko terjebak dalam kutukan SDA seperti Nigeria atau Venezuela.
Namun, Indonesia juga memiliki peluang besar untuk menepis kutukan ini. Dengan membangun sistem politik yang transparan, mengelola SDA secara berkelanjutan, serta berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan pengembangan SDM. Negara-negara yang menyandarkan diri pada kualitas SDM mengalami pertumbuhan ekonomi lebih baik daripada yang menyandarkan diri pada SDA. Nah, Indonesia bisa mengikuti jejak Norwegia dan Botswana.
Artinya Indonesia berada di persimpangan jalan. Bangsa kita, terutama elite politik kita, dalam kesadaran moral yang tinggi harus berani bertanya. Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia akan tetap terperangkap dalam kutukan SDA, atau berani bertransformasi menjadi negara yang menjadikan SDA sebagai modal bagi kemajuan berkelanjutan? Pilihan yang benar akan membawa bangsa ini pada kesejahteraan dan kemakmuran. Pilihan yang salah akan menghancurkan dan membangkrutkan negeri ini.