Persidangan PGI hari ini menarik. Para peserta terbagi ke dalam kelompok-kelompok untuk mendiskusikan secara mendalam tema-tema penting. Ada sebelas kelompok dengan sebelas tema.
Para peserta mengupas tema mulai dari resiliensi keluarga, krisis kebebasan beragama dan berkeyakinan, soal HAM dan demokrasi, krisis pendidikan, hingga artifisial intelegent. Saya sendiri ikut mendengarkan sharing mengenai Quo Vadis Pendidikan (Kristen) Indonesia. Sayangnya, tidak ada kelompok yang mendiskusikan secara serius perihal membangun kekuatan ekonomi jemaat/umat dan gereja. Padahal, banyak kantong Kristen yang hidup dalam kemiskinan.
Handi Irawan, ketua Majelis Pendidikan Kristen (MPK), memperlihatkan wajah muram pendidikan Kristen di Indonesia. Ada ribuan sekolah Kristen yang hidup segan, mati tak mau. Ada spirit untuk memberikan pelayanan pendidikan yang murah oleh gereja-gereja, tapi sayangnya tidak bisa survive. Hanya sedikit sekolah-sekolah Kristen yang berkembang baik, seperti Penabur milik GKI atau IPK.
Sekolah-sekolah yang bagus pun sedang ada dalam tantangan. Kompetitor makin banyak. Di sisi lain, sekolah-sekolah negeri semakin baik dan lebih murah. Guru-guru yang bagus kemudian menjadi ASN, dan mereka keluar dari sekolah swasta. Kita kekurangan guru yang bagus. Imagenya menurun. Siswa berkurang. Akhirnya, hidup segan mati tak mau.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Gerakan untuk mendukung sekolah Kristen harus digalakkan. Peningkatan kualitas sudah mesti dilakukan, bahkan dengan lebih cepat. Dan, hal ini tentu butuh biaya. Karena itu, kolaborasi gereja dengan yayasan pendidikan dan pengusaha harus ditingkatkan. Kolaborasi dan bantuan pemerintah juga harus dilakukan.
Menurut saya, yayasan-yayasan pendidikan Kristen itu juga harus mencari sumber-sumber pendanaan baru untuk mendukung pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Organ Yayasan harus berpikir keras untuk itu, secara khusus peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Bukan hanya menunggu pemasukan dari SPP siswa. Kalau siswa menurun, pemasukan berkurang, gaji guru rendah, mereka asal mengajar sambil nyambi di tempat lain, kualitas pengajaran berkurang, akhirnya kurang peminat, lalu sekolahnya tiarap.
Perguruan Tinggi Kristen pun sama. Perguruan tinggi swasta sekarang menjamur di mana-mana. Perguruan tinggi negeri memperbanyak penerimaan dan memperpanjang waktu penerimaan mahasiswa. Bahkan, perguruan tinggi dari luar negeri pun sudah ada di Indonesia.
Ketika mahasiswa menurun, pendapatan tentu berkurang. Kalau dosennya bagus, tapi kesejahteraannya kurang, dia akan mencari kampus baru. Kalau kualitas dosen tidak bagus, calon mahasiswa tidak akan melirik kampus itu. Jika fasilitas kampus tidak memadai, sulit untuk bersaing. Apalagi, kalau pelayanan kepada mahasiswa tidak prima, kampus itu akan ditinggalkan. Ini semua menjadi tantangan!
Untuk mengatasi semua itu, kita butuh kreativitas. Butuh keberanian, dan kita juga perlu anggaran yang besar. Kita tidak bisa lagi melakukan pengelolaan pendidikan tinggi dengan biasa-biasa saja. Dalam pengalaman Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Yayasan dan Rektorat terus berupaya untuk memperbanyak dosen dengan strata tiga dan profesor, meningkatkan angaran untuk penelitian dan penelitian dan penerbitan karya para dosen.
Dengan kualitas yang baik, perguruan tinggi dapat terus bergerak, bukan hanya menjadi perguruan tinggi yang menjadi basis riset (research based university), tetapi juga menjadi entrepreneurial university (EU). Entrepreneurial university memiliki jiwa dan pola pikir kewirausahaan. Aktivitas Tridharma Perguruan Tinggi dari EU berorientasi pada inovasi, penciptaan nilai, dan dampak yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan ilmu yang dimiliki, penelitian yang dilakukan, universitas dapat menciptakan sumber-sumber penerimaan baru, dan tidak hanya bersandar pada dana mahasiswa. Para dosen akan semakin ahli, tapi juga semakin sejahtera. Hidup mereka berbuah dan berdampak bagi masyarakat.
Selain itu, kampus-kampus Kristen harus didukung juga oleh Yayasan yang kuat. Yang terus meluaskan usaha untuk mendukung pelayanan pendidikan. Diversifikasi usaha mau tidak mau harus dilakukan, dan hal ini membutuhkan dukungan dari para profesional. Sudah saatnya Yayasan-yayasan Kristen dikelola oleh warga jemaat yang profesional, berdedikasi, punya jiwa pelayanan dan siap mendukung penuh upaya pengembangan yayasan dengan spirit kolaborasi, supaya kita tidak hanya bertahan di tengah badai yang kian keras, tetapi dapat melompat lebih tinggi.
(Harley Pattianakotta, Pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha)
Toraja, 11 November 2024.