Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara hadir dengan harapan besar untuk memperkuat ekonomi nasional. Seperti dinyatakan oleh Henry Wibowo dari JP Morgan, “Kehadiran Danantara dapat menjadi katalis positif bagi pasar modal Indonesia.” Optimisme ini tentu beralasan, mengingat keberhasilan serupa di negara lain yang telah mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Luhut Binsar Pandjaitan pun menyebut langkah ini sebagai "upaya strategis untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi perusahaan milik negara." Luhut bahkan dengan optimis berbicara tentang keuntungan US$ 20 milyar-US$25 milyar, tentu saja selama pengelolaan Danantara bebas dari intervensi dan dijalankan secara profesional, suatu idealisme yang patut diapresiasi.
Budaya Politik Kita?
Namun, kita tidak dapat mengabaikan sisi gelap yang mengintai. Persoalan yang dihadapi elite politik negeri ini bukan pada kebijakannya. Persoalan utama kita ada pada budayanya. Budaya politik dan budaya bisnis kita sering menciptakan 'pengkhianat' yang menusuk dari belakang. Janji-janji manis bagi rakyat berakhir dengan nasib manis segelintir elite.
Di sinilah realisme ala Reinhold Niebuhr mengingatkan bahwa institusi politik dan bisnis sering kali menjadi korban ambisi manusia yang tak terkendali. Budaya elite politik kita belakangan ini menunjukkan bahwa risiko intervensi politik tetap menjadi ancaman utama bagi kemandirian Danantara.
Bila itu terjadi, oligarki baru dapat terbentuk atau oligarki lama semakin 'bermain' dan Danantara justru digunakan untuk memperkaya segelintir pihak. Sentralisasi aset tanpa pengawasan ketat justru akan menjadi bumerang yang membunuh diri sendiri.
Kita juga harus waspada terhadap konflik kepentingan yang berpotensi menciptakan anomali pasar dan memperburuk ketimpangan ekonomi.
Oleh karena itu profesionalisme yang menuntut akuntabilitas dan Transparansi publik bukan lagi sekadar kebutuhan; ia adalah keharusan mutlak. Jika sistem yang transparan dan akuntabel diabaikan, Danantara bisa saja terjerumus ke dalam jurang korupsi seperti kasus-kasus kelam yang pernah terjadi di negara lain.
Luhut sendiri mengakui bahwa tanpa "pengelolaan oleh individu yang kompeten dan berintegritas," mimpi besar ini bisa kandas. Tentu saja, bukan sekedar mimpi yang kandas, tetapi hancur-baurnya negara tericinta ini.
Birokrasi yang berbelit harus diberantas agar inovasi tidak terhenti. Kita tidak ingin Danantara menjadi fosil ambisi semu tanpa manfaat nyata. Transparansi, akuntabilitas, integritas yang menjunjung tinggi kepentingan bangsa demi kesejahteraan dan keadilan sosial adalah pilar yang harus menopang setiap kebijakan Danantara.
Jika pilar-pilar tersebut runtuh, keberadaan Danantara justru akan menjadi kutukan yang membangkrutkan negeri ini. Sebaliknya, jika dijalankan dengan hati-hati, Danantara bisa menjadi berkat yang memperkuat martabat bangsa.
Kita doakan dengan sangat serius dan kita harus awasi dengan sangat cermat karena pada Danantara inilah masa depan bangsa ini sedang dipertaruhkan.