Saudara-saudaraku seiman. Jemaat yang bersekutu dalam nama Tuhan Yesus. Kita berkumpul sore ini dalam suasana siaga hati untuk menyambut hari natal, 25 Desember 2025. Hidup kita dalam satu tahun, seperti terarah ke moment ini, HARI NATAL.
Jalan-jalan penuh manusia. Transportasi umum panen penumpang. Tiap orang bergegas kembali ke rumah di mana dia dibesarkan untuk merayakan Natal.
Natal memang memiliki daya pikat yang kuat, juga daya ubah yang luar biasa besar. Di hari Natal kita seperti ingin memeluk setiap orang yang kita temui. Ada energy besar dalam hati yang menggerakkan kita untuk memberi sesuatu kepada sesama. Untuk moment Natal tahun ini, saya menerima lima kado yang nominalnya ada yang mencapai jutaan. Di luar hari Natal hadiah-hadiah seperti itu jarang saya terima.
Mengapa sensasi itu menggerakkan kita untuk memberi? Jawabannya adalah sederhana. Hati kita tersentuh oleh pemberian yang indah, yakni mendapatkan kunjungan ilahi. Tuhan yang kekal berkenan mendatangi kita dengan membawa keselamatan untuk dianugerah cuma-cuma kepada kita. Sentuhan kasih itu yang menggerakan kita untuk melakukan hal yang sama, yakni memberi.
Jadi jargon yang paling tepat menggambarkan makna Natal, menurut saya adalah kalimat ini: It is a moment of giving, not receiving.
Natal adalah peristiwa memberi, bukan menerima. Allah memberikan kepada kita hidupNya. Dia tidak menuntut kita membalas pemberian itu. Yang Dia minta adalah kita melakukan hal yang sama, memberi kepada sesama.
Natal memperlihatkan kepada kita bahwa pada Allah ada ruang yang terbuka luas untuk menyambut manusia betapa pun Allah tahu bahwa manusia tidak selalu memiliki tempat bagi Allah di hatinya. Itu bukan baru terjadi saat ini. Hal serupa juga sudah terjadi di Betlehem. Lukas mencatat itu secara jujur: “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”
Tiga puluh tahun kemudian, penulis kitab Injil ke-4, Yohanes juga mengatakan hal yang sama dalam kalimat yang agak halus. “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”
Saya ingat kejadian 30 tahun lalu di Jemaat Fatukusi tempat saya vikaris. Seorang anak perempuan berusia kira-kira 3 tahun menghafal dengan baik ayat Yohanes ini dalam bahasa Meto: “in nem neu in ini sin, mes in ini sin kan simo nani fa.”
Mahasiswa saya memberikan terjemahan Sabu berikut ini: "Muri dota dakka pa unu oha rowi Muri, tapulara dau-dau do unu oha rowi Muri hamme do Muri". Mahasiswa lain memberikan versi bahasa Rote berikut: LAMATUAK konda Neni ndia ana nemheren nar Neu, tehu ana nemheren ta simbokkan.
2000 tahun lalu, waktu di Betlehem, orang-orang tidak memiliki tempat di hati untuk Yesus. Itu wajar karena mereka memang belum mengenal tentang Yesus. Belum ada kitab Perjanjian Baru. Khotbah yang mereka dengar juga belum mengajarkan tentang Yesus. Paling banyak khotbah tentang menjalankan Sabat, melakukan sunat, menjauhkan makanan Haram, dan seterusnya.
Yang jadi masalah adalah ketika kitab Yohanes ditulis dan lebih masalah lagi kalau sampai saat ini orang-orang masih menutup hatinya bagi Tuhan Yesus padahal sudah baca Alkitab, dengar Khotbah, hadiri Ibadah Minggu, Rayakan Natal dan Makan Perjamuan.
Saudara-saudara pasti tahu, mengapa Yesus lahir di kandang? Ingat… Yesus terbaring dalam palungan saat lahir, bukan dibuang di palungan oleh ibunya. Ayo… anak-anak sekolah minggu. Mengapa Yesus harus menjalani kelahiran yang nista seperti ini? “Betul! Betul Sekali! Di Lukas 2:7 dijelaskan: “Karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Meskipun jawaban ini tepat, tetapi tidak benar kalau kita pahami dari tema yang saudara-saudara pilih untuk perayaan natal kali ini: Lahir di hatiku.
Lukas memang katakan bahwa semua rumah penginapan di Betlehem penuh. Tapi kalau kita mau jujur sebenarnya bukan tidak ada tempat bagi Yesus di rumah penginapan. Yang benar adalah karena mereka belum pernah mendengar tentang Yesus, sehingga tidak ada tempat bagi Yesus di dalam hati mereka. Penduduk Betlehem tidak ada hati bagi Maria dan Yusuf. Agaknya kalau penduduk Betlehem punya hati bagi dua orang ini, sepenuh apa pun penginapan pastilah masih bisa disiasati. Bukankah kita juga sering buat begitu? Betapa pun ada orang yang mendadak datang ke rumah kita, tetapi karena orang itu teman atau seorang yang khusus di hati, kita pasti akan memberikan dia penginapan. Anak-anak kita suruh untuk tidur gabung dengan orang tua. Mengapa begitu? Karena ada tempat di hati kita bagi tamu dadakan tadi.
Ya… orang Betlehem tidak punya hati bagi Maria dan Yesus dan juga bagi Yesus. Itu sebabnya juga tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Jadinya, Yesus lahir di kandang, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan. Belakang ini, memperhatikan antusiasme orang kristen menyambut Natal, melihat meriah dekorasi Natal di hampir setiap sudut kota, kantor, gedung kebaktian, saya yakin orang-orang percaya masa kini tidak mau melakukan kesalahan serupa. Yesus tidak boleh terus lahir di kandang. Yesus perlu diundang lahir di hidup orang percaya. Mereka bahkan menyediakan hati sebagai palungan. Itu diungkapkan dalam lagu Kidung Jemaat 84:2
Hatiku, biar Kau jadikan
palunganMu yang mulia
atau ada lagu terkini yang berbunyi:
Seperti palungan
Layakkanlah hatiku
Menyambutmu Tuhan…
Saya terkesan dengan Tema Natal di jemaat ini: Adalah tempat bagi Yesus? Karena itu tadi malam saya kirim ucapan selamat natal kepada beberapa teman dengan pesan berikut: “Perhatikanlah! Malam ini keluarga kudus akan lewat di rumahmu. Mereka akan minta tempat untuk menginap. Jangan lupa berikanlah hatimu sebagai palungan bagi kelahiran Yesus secara baru.” Beberapa menit kemudian teman yang di Batam, seorang oma menjawab SMS saya. Dia katakan begini: “Amin. Oma sudah siapkan hati untuk menjadi palungan bagi Yesus. Kiranya Tuhan berkenan karena kadang-kadang oma buat palungan itu kotor.”
Saya kaget. Betul! Hati yang mau kita berikan sebagai palungan untuk Yesus biasanya kita kotori. Lalu saya jawab SMS oma tadi. “Oma… tidak masalah kalau palungan kita itu kotor. Persilahkan saja untuk Yesus lahir di situ karena betapa pun dosamu merah seperti kirmizi Yesus akan membuatnya putih seperti bulu domba.” Nah… bapak-ibu di sini mau memberikan hati kepada Yesus sebagai palungan, bukan? Saya yakin pasti hati itu sudah dibersihkan sebisa-bisanya. Tetapi apakah bisa menjamin bahwa hati itu sudah bebas kotoran? Pasti tidak, to?
Lewat khotbah ini saya ajak bapak-ibu jemaat untuk kita periksa kotoran-kotoran apa saja yang mungkin masih tersisa. Yesus memang akan membersihkan kotoran-kotoran itu. Tetapi kita juga harus tahu supaya minta Yesus menolong kita untuk membersihkan kotoran itu. Lukas menggambarkan kelahiran Yesus di Betlehem dalam sebuah panorama yang sarat makna. Dia mensejajarkan Agustus dengan Yesus. Juga muncul dua tokoh lain yang juga disejajarkan: Maria dan Yusuf. Akhirnya Lukas menampilkan tokoh surgawi, para malaikat bersama-sama dengan gembala-gembala, yang oleh dunia dianggap kaum gembel. Kalau kita minta Yesus untuk lahir secara baru di hati, patutlah panorama kisah natal yang ditampilkan Lukas menjadi bahan perenungan untuk membuat hati kita bebas dari kotoran-kotoran.
Pertama, Lukas mensejajarkan Agustus dan Yesus. Keduanya sama-sama raja. Tapi ada beda cara menggunakan kekuasaan di antara keduanya. Agustus adalah manusia yang ingin menjadi Allah. Ia bergaya sebagai yang besar, paling berkuasa dan serba bisa. Untuk cari nama Agustus banyak menghilangkan nama-nama dengan menggunakan uang, senjata dan tentara. Ada banyak darah melekat di tangan Agustus, banyak nama yang dihilangkan oleh senjata dan tentara Agustus. Hatinya kotor sekali. Ini gaya orang-orang besar menjalankan kuasa.
Yesus adalah Allah yang berkenan menjadi manusia. Ia tidak suka cari nama. Yesus menggunakan kuasa padaNya sebagai raja untuk memberikan nama kepada orang-orang yang tidak punya nama. Agustus hanya suka berada di kota-kota besar dan dikelilingi para pembesar dan orang bermodal. Yesus memilih untuk tinggal di desa-desa, menjadi sahabat orang kecil, menderita dan tersingkir. Senjata Yesus adalah kasih terhadap sesama dan pengampunan.
Kalau kita minta Yesus lahir dalam hati maka kita harus siap meninggalkan gaya Agustus dan belajar menjalankan gaya Yesus. Ini sama dengan melakukan revolusi mental. Dengan kata lain kita harus berani menanggalkan jubah raja, atribut kebesaran dan belajar mengenakan kain lampin pelayanan dan atribut cinta kasih. Iya… sama seperti Yesus, kita harus mengikat pinggang dengan kain lap untuk membasuh kaki sesama, bukan mengenakan atribut jabatan untuk menindas dan menyusahkan rakyat.
Saya mengamati, semoga saya keliru, bahwa gaya Agustus ini belum berani kita tanggalkan. Itu terlihat dalam orientasi perjalanan kita. Kalau kunjungan ke Jakarta semua berebutan. Tapi kalau tugasnya ke desa, hanya SPPD yang dikirim untuk ditandatangani petugas di kelurahan. Kalau kita meminta Yesus lahir secara baru di dalam hati, tetapi hidup kita sesudah natal masih tetap bergaya seperti Agustus itu sama dengan kita bikin kotor palungan yang kita berikan bagi Yesus.
Kedua, Lukas memberi peran yang sama untuk Maria dan Yusuf dalam kisah kelahiran Yesus. Orang laki-laki Yahudi akan kurang muka dan rasa dihina kalau laki-laki disejajarkan dengan perempuan. Menurut adat Yahudi, perempuan itu lebih cocok disamakan dengan benda atau binatang. Coba baca hukum ke-10: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu." Perempuan disejajarkan dengan sapi karena memang dia berharga sapi, penghasil sapi dan bisa ditukar dengan sapi. Coba lihat kebiasaan orang NTT. Itu mirip dengan orang Yahudi. Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti sapi milik sang ayah cepat habis. Dia baru boleh keluar rumah kalau ada seorang laki-laki bawa beberapa ekor sapi. Sapi masuk rumah, baru perempuan boleh keluar rumah.
Yesus yang dibaringkan di dalam palungan membawa revolusi besar dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Ia datang bawa kesetaraan. Maria disetarakan dengan Yusuf. Tanpa minta persetujuan Yusuf, malaikat langsung datang kepada Maria untuk meminta dia menjadi ibu dari Yesus. Allah mengangkat derajat perempuan untuk disejajarkan dengan laki-laki pada saat Yesus dilahirkan. Revolusi ini harus kita jalani kalau kita undang Yesus untuk lahir secara baru di dalam hati kita. Perjuangan bagi kesetaraan laki-laki dan perempuan harus menjadi agenda hidup kita setelah perayaan natal. Praktek belis yang sangat syarat komersialisasi perempuan, atau mafia TKI yang berjiwa feminisasi kemiskinan harus kita hentikan. Percuma kalau di dalam natal kita mengagung-agungkan Maria, seorang perempuan, tetapi setelah natal kita melakukan kekerasan terhadap perempuan-perempuan di sekitar kita.
Jelasnya kain lampin eksploitasi dan diskriminasi seks yang selama ini menjadi budaya harus kita anggap sebagai kain kafan yang patut dimakamkan. Sebagai gantinya kita perlu belajar mengenakan kain seragam, yakni perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan.
Ketiga, Lukas bercerita bahwa di padang tempat gembala-gembala bekerja terjadi sebuah revelasi, penyataan ilahi yang tiada taranya. Sejumlah besar bala tentara sorga tampil menyanyikan keagungan Allah. Realita insani dan ilahi berpadu. Van Peursen, seorang sosiolog terkemuka menggambarkan perkembangan peradaban manusia dalam tiga tahap: mistis, ontologis dan fungsional. Manusia modern berada dalam pemahaman fungsional terhadap hidup. Dalam paham fungsional dunia dibagi dalam dua kawasan: yang profan dan sakral, kawasan kerja dan ibadah, pasar dan mimbar.
Ini dua kawasan yang terpisah, tidak boleh disatukan. Di altar kita khusuk dan sopan, di pasar kita buas dan saling memakan. Akibatnya sungguh membingungkan. Gedung-gedung ibadah penuh dengan manusia ketika jam doa dan penyembahan. Tetapi komisi pemberantasan korupsi juga kebingungan dengan banyaknya kasus korupsi dari orang-orang yang rajin beribadah.
Di mimbar kita berdoa: “Tuhan! Kami mengingat saudara-saudara kami yang kurang beruntung, yang hidup berkekurangan secara ekonomi. Tolonglah mereka, ya Tuhan. Pakailah juga kami untuk menjadi saluran berkat bagi mereka.” Ini doa yang khusuk diucapkan di mimbar. Tapi begitu ke sampai pasar, ketemu ibu penjual sayur kita langsung bilang: “Eiii mama… Ini sayur jelek kok harganya sampai Rp. 5.000? Kasih turun saja… kalau tidak saya tidak mau beli.”
Ini contoh dari pemisahan antara mimbar dan pasar, ruang doa dan tempat kerja. Akibatnya di hadapan Tuhan kita saleh dan sangat ramah. Tetapi di padang dan tempat kerja kita buas dan mengorbankan sesama. Kain membunuh Habel di padang. Yusuf dijual saudara-saudaranya di padang. Dalam kelahiran Yesus, batas antara mimbar dan pasar, ruang doa dan tempat kerja serta merta ditiadakan. Ibadah bukan lagi terjadi hanya di dekat mimbar. Pujian kepada kemuliaan dan kasih Allah juga diperdengarkan di padang. Malaikat-malaikat berkata: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya” diucapkan di tempat kerja para gembala.
Dengan kelahiran Yesus mimbar dibawa masuk ke pasar dan realita dunia kerja diperluas sampai ke dekat altar, bukan untuk Injil disampaikan dengan prinsip-prinsip pasar, dijual murah, bisa kredit atau hanya menonjolkan sisi euforianya seperti yang mulai menjadi trend saat ini. Tidak! Mimbar masuk pasar untuk melakukan interupsi, yakni menunjukkan kepada orang-orang di pasar bahwa di pasar pun orang harus berinteraksi dengan memperhatikan nilai-nilai kekudusan, kasih, kejujuran dan kebenaran.
Sebaliknya, dunia kerja diperluas cakupannya sampai ke altar untuk melakukan interupsi. Para imam, pendeta, penatua dan diaken harus dikasih ingat bahwa injil bukan melulu soal batin dan kesalehan hidup. Ibadah juga bersangkut paut dengan hal-hal sosial seperti keadilan, kesehatan, pendidikan, pertanian, hukum, dll. Pejabat Gereja tidak boleh sekedar berdoa bagi Anak-Anak ketika akan menghadapi ujian akhir SMA. Mencari cara agar anak-anak itu bisa berkuliah juga adalah bagian tak terpisahkan dari doa bagi mereka.
Kotoran-kotoran inilah yang harus kita bersihkan dari hati kita kalau kita siapkan hati sebagai palungan bagi kelahiran Yesus secara baru. Orang-orang yang memberi hatinya kepada Yesus untuk dijadikan palungan akan melakoni spiritulitas hidup Maria: “Ia meyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” Hati yang demikian akan membuat hidup menjadi sebuah persembahan yang indah, ibarat emas, kemenyan dan mur yang diberikan oleh para majus bagi Yesus dan bagi sesama. Amin.
Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo.
Nota Bene:
Bagi teman-teman yang tergerak untuk membantu pelayanan BPH GEREJA PROTESTAN INDONESIA 2025-2030 bisa memberikan persembahan sukarela seiklasnya berapapun nominalnya ke Q-Ris GPI dalam link berikut:

IZINKAN YESUS LAHIR DI HATIMU