Kontrasnya Philip II vs. Lee Kuan Yew

Oleh: Pdt.DR. Albertus Patty

Kekayaan alam sering dianggap sebagai anugerah yang menjamin kemakmuran sebuah bangsa. Namun, sejarah menunjukkan bahwa tanpa kebijaksanaan, kekayaan dapat menjadi kutukan. Philip II dari Spanyol dan Lee Kuan Yew dari Singapura adalah dua pemimpin yang menggambarkan kontras tersebut.


Howard Means dalam Money & Power: The History of Business menguraikan tentang Philip II yang memerintah Spanyol pada abad 16. Philip II mewarisi harta berlimpah dari emas dan perak hasil eksploitasi Dunia Baru yang kemudian dikenal sebagai Amerika. Sayangnya, aliran kekayaan ini tidak dibarengi dengan visi pembangunan jangka panjang. Philip memilih membiayai perang dan memperluas wilayah jajahan, alih-alih memperkuat perekonomian rakyat.


Korupsi merajalela, birokrasi tidak efisien, dan investasi dalam infrastruktur minim. Tanpa sistem keuangan yang baik, Spanyol justru terjerat utang dan beberapa kali bangkrut. Rakyat pun menjerit. Kekayaan tanpa kebijaksanaan berakhir pada kehancuran.


Sebaliknya, Lee Kuan Yew memimpin Singapura tanpa kekayaan alam. Namun, ia memiliki visi besar untuk menjadikan negaranya pusat perdagangan dan jasa global.


Lee membangun sistem politik yang bersih dan transparan. Integritas dan efisiensi menjadi fondasi pemerintahan. Setiap kebijakan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.


Investasi pada pendidikan dan pengembangan SDM menjadi prioritas. Hasilnya, Singapura memiliki tenaga kerja yang kompeten dan berdaya saing tinggi.


Keberanian mengambil keputusan tidak populer, seperti memberantas korupsi, menjadi langkah penting. Stabilitas politik dan ekonomi pun terjaga.


Lee tidak hanya membangun negara, tetapi juga karakter bangsa. Sistem meritokrasi menjadikan prestasi sebagai tolok ukur, bukan koneksi atau keturunan.


Perbandingan ini menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah jaminan kemajuan. Tanpa kebijaksanaan dan visi, kekayaan bisa musnah. Sebaliknya, dengan visi, keberanian, dan integritas, kemiskinan bisa diubah menjadi kemakmuran.


Sejarah memberi pelajaran bahwa sumber daya terbesar sebuah bangsa bukanlah emas atau minyak, melainkan manusia yang dipimpin oleh kebijaksanaan.


Relevansinya Bagi Indonesia?


Relevansinya bagi Indonesia sangat nyata. Sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia sedang terjebak dalam dosa para elite dan birokrasi yang doyan korupsi. Tingkat korupsinya pun sampai ratusan trilyun, tetapi sering proses hukum hanya menyentuh lapisan luar sementara 'Boss Besar' di balik isu besar itu sering untouchable. 


Efeknya, kekayaan sumber daya alam seperti minyak, gas, emas, nikel, timah dan hasil tambang lainnya lebih menguntungkan segelintir orang daripada kesejahteraan rakyat. Sistem politik yang korup dan birokrasi yang tidak efisien menjadi hambatan utama bagi kemajuan bangsa. Indonesia perlu belajar dari Singapura bahwa kunci pembangunan terletak pada visi, keberanian memberantas korupsi, dan investasi pada kualitas manusia. Tanpa itu, kekayaan alam hanya akan menjadi kutukan yang memperpanjang penderitaan rakyat.




Leader Tanpa Leadership
oleh: Pdt.Dr. Albertus Patty