Ada sejuta cara untuk melayani Tuhan. Ada yang mendapatkan panggilan untuk menjadi “pendeta mimbar” tetapi pula ada pendeta memilih jalan yang berbeda untuk melayani Tuhan dengan caranya sendiri.
Ya, seorang pendeta tidak hanya berdiri di mimbar dengan toga bersih, berbicara tentang hidup setelah mati, surga, dan janji-janji surgawi. Ada pendeta yang memutuskan untuk turun ke sawah, ke ladang, ke laut, dan duduk bersama masyarakat yang bergumul dengan kerasnya kehidupan. Makan susah, pekerjaan langka, dan harapan seolah menguap. Di tengah situasi itu, saya memilih untuk mengotori toga-ku — bukan karena ceroboh, tetapi karena saya percaya bahwa iman harus menyentuh tanah, menyatu dengan realita kehidupan (contoh nyata adalah Romo Mangun).
Inilah spiritualitas toga kotor: sebuah panggilan untuk menghadirkan kasih Tuhan yang nyata, bukan sekadar kata-kata. Pendeta adalah pengingat bahwa gereja bukan hanya tentang mimbar dan khotbah, tetapi tentang tindakan nyata yang mengubah hidup orang-orang yang menderita. Saya memahami bahwa “memberi mereka makan” bukan hanya metafora, tetapi perintah Tuhan yang harus diwujudkan dalam tindakan konkret.
Mungkin ia akan dikucilkan oleh rekan-rekan sepelayanan dan para pejabat gereja yang lebih memilih berbicara tentang surga yang jauh, sambil mengabaikan “real life” yang dialami oleh masyarakat. Tapi bagi para pendeta yang berjibaku dengan lumpur, toga kotor adalah simbol amanat Tuhan. Mereka rela mengorbankan kenyamanan dan statusnya demi memastikan bahwa umat/masyarakat tidak hanya mendengar tentang kasih Tuhan, tetapi juga merasakannya melalui tangan dan kaki yang melayani.
Spiritualitas toga kotor mengajarkan kita bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Para pendeta ini mengajak gereja untuk keluar dari tembok-tembok nyaman (ghetto) dan menyentuh kehidupan nyata. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang surga, sementara orang-orang di sekitar kita masih berjuang untuk bertahan hidup? Bagaimana mungkin kita mengajarkan tentang berkat Tuhan, sementara kita menutup mata terhadap penderitaan mereka yang lapar, miskin, dan tertindas?
Dengan toga kotor, mengingatkan kita bahwa gereja ada bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia. Gereja harus bersinar di tengah kegelapan, garam yang harus memberikan rasa di tengah kehidupan yang tawar. Toga kotor adalah simbol kerendahan hati, dan kasih yang tidak berhenti pada kata-kata, tetapi turun ke lapangan, bekerja sama dengan umat, dan membawa perubahan yang nyata.
Mungkin pendeta ini tidak akan pernah diakui oleh sistem gereja yang lebih suka toga bersih dan mimbar megah. Tapi di mata Tuhan, mereka adalah pahlawan iman yang setia pada panggilannya. Mereka mengingatkan kita bahwa spiritualitas sejati bukan tentang seberapa tinggi kita berdiri di mimbar, tetapi seberapa rendah kita mau membungkuk untuk melayani.
Spiritualitas toga kotor adalah seruan bagi kita semua—baik sebagai pemimpin gereja, jemaat, atau orang percaya—untuk tidak hanya berbicara tentang kasih Tuhan, tetapi menghidupkannya. Mari kita keluar dari zona nyaman, mengotori toga kita jika perlu, dan membawa surga ke bumi melalui tindakan nyata. Sebab, seperti kata Tuhan, “Kamu harus memberi mereka makan!” Dan dalam toga kotor itulah, kita menemukan makna sejati dari spiritualitas: iman yang hidup, kasih yang nyata, dan harapan yang membumi.
Spiritualitas Toga Kotor: Ketika Iman Menyentuh Tanah