PENDAHULUAN
Menjelang usia satu abad, Gereja Protestan Maluku (GPM) sedang memasuki momentum historis yang sarat makna teologis. Perayaan 100 tahun bukan hanya peristiwa simbolik, melainkan momen reflektif bagi gereja untuk meninjau ulang identitas, arah, dan etos pelayanannya. Gereja yang berumur panjang tidak selalu berarti gereja yang hidup; kehidupan rohani dan sosialnya hanya dapat terus bernapas jika ia mampu memperbaharui kesadarannya dalam terang Injil.
Dalam konteks ini, gagasan tentang “markas pikiran baru” menjadi metafora teologis dan strategis yang penting. “Markas” menunjuk pada ruang kesadaran kolektif, tempat di mana gereja menimbang dan menata kembali pemikirannya agar tetap relevan bagi dunia yang berubah. Sedangkan “pikiran baru” mengacu pada pembaruan kesadaran iman bukan dalam arti meninggalkan tradisi, melainkan menyegarkannya dengan semangat dan kepekaan zaman.
1. Markas Pikiran Baru : Ruang Transformasi Kesadaran
Dalam bahasa Yunani, pembaruan pikiran disebut metanoia, yang berarti perubahan budi atau cara berpikir (Rm. 12:2). Istilah ini menegaskan bahwa pertobatan bukan hanya tindakan moral, tetapi proses epistemologis dan spiritual, di mana umat Allah mengubah cara pandangnya terhadap dunia dan dirinya sendiri di hadapan Allah.
“Markas pikiran baru” dengan demikian adalah ruang transformasi kesadaran gereja, tempat di mana GPM secara sadar menata ulang relasi antara iman dan konteks, antara tradisi dan inovasi, antara spiritualitas dan praksis sosial.
Teolog Jürgen Moltmann menyebut pembaruan gereja sebagai proses “eksodus dari kebekuan sejarah menuju pengharapan eskatologis”, di mana iman bukanlah penjara masa lalu, tetapi gerak menuju masa depan Allah yang membebaskan.¹ Dalam terang itu, markas pikiran baru dapat dipahami sebagai pusat gerak gereja menuju horizon pengharapan baru, di mana teologi menjadi refleksi hidup, bukan dogma yang beku.

2. Pembaruan Etos sebagai Roh Kehidupan Gereja

Setiap pembaruan pikiran harus melahirkan pembaruan etos, sebab pikiran tanpa etos hanyalah gagasan kosong. Etos adalah “roh penggerak” kehidupan gereja, sikap dasar yang menentukan bagaimana iman diwujudkan dalam tindakan.
Menurut Paul Tillich, iman sejati selalu memiliki “dimensi eksistensial”; ia tidak berhenti di ide, tetapi menubuh dalam sejarah dan tindakan sosial.²
Dalam konteks GPM, pembaruan etos dapat mencakup beberapa dimensi berikut:
1. Etos Spiritual dan Teologis
Gereja dipanggil untuk kembali berakar pada spiritualitas Kristus yang membebaskan. Bonhoeffer menegaskan bahwa gereja hanya menjadi gereja bila ia “ada untuk sesama manusia.”³ Etos spiritualitas ini menolak formalisme religius dan menumbuhkan disiplin rohani yang melayani, bukan menguasai.
2. Etos Intelektual dan Kritis
Gereja harus menghidupkan kembali tradisi berpikir yang reflektif. Teologi tidak boleh dipisahkan dari realitas sosial, sebab, seperti dikatakan Eka Darmaputera, “teologi yang sejati adalah teologi yang bersuara dari tengah pergumulan masyarakat.”⁴ Etos ini mendorong GPM menjadi komunitas pembelajar iman yang kreatif dan terbuka.
3. Etos Sosial dan Diakonal
GPM lahir dari rahim penderitaan rakyat Maluku. Karena itu, etos diakonal adalah DNA gereja ini. Gereja dipanggil untuk berpihak kepada yang miskin dan tertindas, sebagaimana ditegaskan dalam Lukas 4:18 - Roh Tuhan memanggil gereja untuk membebaskan, bukan sekadar menasihati.
4. Etos Kolegial dan Partisipatif
Gereja di masa kini tidak lagi dapat bertahan dengan model kepemimpinan hierarkis. Etos kepemimpinan harus bersifat kolegial dan partisipatif, di mana tanggung jawab pelayanan menjadi milik bersama. J. Pattinama menyebut hal ini sebagai “eklesiologi partisipatoris” gereja sebagai tubuh yang hidup dari kebersamaan.⁵
5. Etos Ekologis dan Keadilan Ciptaan
Dalam konteks Maluku, spiritualitas ekologis adalah keniscayaan. Gereja yang melayani di tengah laut dan pulau harus memiliki kesadaran bahwa ciptaan adalah “rumah Allah” (oikos tou Theou).⁶ Etos ekologis ini memperluas spiritualitas ke dalam dimensi bumi dan kosmos.
3. Dari Historis ke Profetis: 100 Tahun sebagai Momentum Teologis
Menjelang usia seabad, GPM perlu menafsir sejarahnya bukan sebagai arsip, melainkan sebagai teks iman yang hidup. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengingat, tetapi untuk membaca kembali sejarahnya secara profetis.
Jürgen Moltmann menulis bahwa sejarah gereja selalu bersifat terbuka - menuju masa depan Allah yang belum selesai.⁷ Maka perayaan 100 tahun adalah momen re-visioning, bukan sekadar peringatan.
Di sinilah markas pikiran baru berfungsi sebagai ruang hermeneutik profetis, tempat gereja belajar membaca tanda zaman dan menafsir ulang panggilannya di tengah disrupsi sosial, ekonomi, dan ekologi.
Momentum ini menuntut GPM untuk :
- Mengembangkan teologi kontekstual yang berbicara dalam bahasa dan realitas Maluku kontemporer.
- Memperkuat formasi pelayan dan kader intelektual gereja yang mampu berpikir lintas ilmu.
- Mengintegrasikan misi gereja dengan isu-isu global seperti keadilan iklim, migrasi, dan transformasi sosial.
4. Roh Inovasi dan Hermeneutik Kontekstual
Markas pikiran baru tidak dimaksudkan sebagai lembaga administratif, tetapi sebagai gerakan hermeneutik gereja, suatu upaya untuk menafsir ulang Injil secara kontekstual.
Hans Küng menegaskan bahwa gereja hanya dapat bertahan bila ia “selalu melakukan reformasi” (ecclesia semper reformanda est).⁸ Prinsip ini mengajak GPM untuk terus berpikir baru, namun tetap berakar pada Injil.
Inovasi yang dimaksud bukan sekadar strategi modernisasi, melainkan tindakan iman yang sadar konteks. Gereja perlu menafsir ulang makna pelayanan, liturgi, pendidikan, dan kepemimpinan dalam terang situasi masyarakat Maluku kini: urbanisasi, krisis moral, disrupsi digital,

5.Peneguhan Identitas Gereja: Dari Pikiran ke Etos, dari Etos ke Gerakan
Markas pikiran baru akhirnya mengarahkan GPM pada peneguhan kembali identitasnya sebagai gereja Kristus di tanah Maluku dan Maluku Utara.
Identitas itu tidak ditentukan oleh tradisi administratif atau simbol kelembagaan, melainkan oleh kesetiaannya kepada Injil dan kesediaannya melayani dunia.
GPM di abad ke-2 pelayanannya harus menjadi :
- Gereja yang berakar pada spiritualitas Kristus, bukan pada kebanggaan institusional.
- Gereja yang berpikir reflektif dan profetis, menafsir tanda zaman dengan terang Injil.
- Gereja yang bergerak dalam etos kasih dan keadilan, menyalakan pengharapan bagi manusia dan alam ciptaan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Moltmann, “gereja adalah komunitas pengharapan yang hidup dari Roh yang membebaskan.”⁹ Maka, markas pikiran baru bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang menuju kedewasaan iman dan tanggung jawab profetis di abad ke-2 GPM.
PENUTUP
“Markas pikiran baru” bukan sekadar slogan pembaruan, tetapi proyek kesadaran gerejawi untuk membangun etos baru yang kreatif, kontekstual, dan spiritual.
Ia adalah ruang di mana GPM menafsir ulang Injil dengan akal budi dan hati, memadukan refleksi teologis dengan praksis sosial, serta menumbuhkan generasi yang berpikir dan beriman secara utuh.
Menuju 100 tahun, GPM dipanggil untuk menjadi gereja yang berpikir, berdoa, dan bertindak dalam Roh.
Dengan demikian, perayaan seabad bukanlah perhentian, melainkan tanda kelahiran kembali - gereja yang tidak hanya menjaga warisan, tetapi melahirkan masa depan.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”
(Roma 12:2)
Toma!!!
Daftar Pustaka
1. Jürgen Moltmann, Teologi Pengharapan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 23.
2. Paul Tillich, Teologi Sistematis, Jilid I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 39-41.
3. Dietrich Bonhoeffer, Etika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 74.
4. Eka Darmaputera, Teologi Kontekstual di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 56.
5. J. Pattinama, Gereja Partisipatoris: Eklesiologi Kontekstual GPM (Ambon: Lembaga Penelitian GPM, 2015), hlm. 88.
6. Leonardo Boff, Ekologi: Seruan untuk Menyelamatkan Bumi (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 12.
7. Moltmann, Teologi Pengharapan, hlm. 78–79.
8. Hans Küng, Gereja: Sifat dan Struktur Gereja Menurut Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 15.
9. Jürgen Moltmann, Roh Kehidupan: Sebuah Teologi Pneumatologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 101.
Markas Pikiran Baru Gereja Protestan Maluku : Membangun Etos Baru Menuju 100 Tahun GPM