Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan eks Kapolres Ngada sangat mencederai harkat dan martabat anak, dan sangat melukai batin keluarga dan masyarakat (NTT).
Kasus ini mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, karena pelakunya adalah perwira kepolisian.
Kejahatan seksual anak oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman tidak cukup hanya disebut sebagai kasus asusila semata, tetapi perlu dibuka dengan mengedepankan Undang-undang Perlindungan Anak.
Eksploitasi seksual anak merupakan kejahatan luar biasa. Mengherenkan, dalam pemberkasan (BAP) oleh penyidik kepolisian pasalnya dibikin ringan.
Tulisan ini mencoba mengupas kelemahan-kelemahan penyidik kepolisian dalam menerapkan pasal tuntutan untuk ‘perwira polisi kriminal’ pelaku kejahatan seksual.
Mengurai fakta kriminal perwira polisi
Untuk melihat buramnya potret penegakan hukum dan keterlibatan aparat kepolisian sebagai pelaku kriminal, kita perlu membeda fakta kriminal.
Beberapa fakta adalah pelaku kriminal, AKBP Fajar diduga telah berhubungan seksual dengan “F“. Modusnya berkenalan dengan “F” melalui aplikasi MiChat kemudian pelaku membujuk korban melakukan hubungan seksual (Pos Kupang 14/3/2025).
Diketahui, pada bulan Juni 2024 pelaku memesan anak berusia 5 tahun (korban 1) melalui F, mengajak anak jalan-jalan dan makan.
Lalu F mengantar Korban 1 ke hotel menemui pelaku Fajar untuk melakukan aksi bejatnya.
Pelaku memberikan uang 3 juta kepada F, seorang mahasiswi yang tinggal di kos-kosan orang tua korban 1. Saat ini F sudah ditahan sebagai tersangka. Sedangkan dua korban lagi berusia 16 tahun (korban 2) dan 13 tahun (korban 3)
Setelah melakukan kekerasan seksual terhadap Korban 2, pelaku memesan agar dia mengantar Korban 3 ke hotel. Seusai melakukan aksi bejatnya, pelaku memberikan uang 1 juta rupiah kepada setiap korban.
Pelaku juga merekam kejahatan seksualnya lalu menyebarkan ke situs porno (dark web), dan terdeteksi kepolisian Australia.
Di bagian ini amat minim kemampuan Polri dalam melakukan deteksi aksi eksploitasi dan kejahatan seksual anak di ranah digital.
Korban anak dan trauma
Salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika terjadi aksi kriminal dan kekerasan seksual terhadap anak adalah bagaimana menjaga anak-anak agar mereka bisa melalui masa traumatik. Di sini upaya perlindungan korban menjadi kunci.
Saat ini ketiga anak korban mengalami trauma berat. Mereka ketakutan, cemas, murung, tidak mau melihat orang berpakaian warna coklat, melarikan diri/ bersembunyi dan sering menangis.
Trauma ini serius. Sebab trauma ini bukan lagi trauma terhadap Fajar seorang, tetapi trauma terhadap aparat kepolisian.
Untuk itu Polri wajib memikirkan bagaimana agar anak-anak bisa dilindungi dan mendapatkan hak-haknya. Termasuk untuk hak restitusi yakni ganti kerugian fisik, psikis, medis dan psikososial oleh pelaku.
Keluarga korban meminta agar pelaku dihukuman seberat-beratnya, hukuman mati karena seorang Kapolres, tega melakukan perbuatan keji terhadap anak. Berbagai kelompok masyarakat sipil menentang kejahatan ini.
Misalnya “Solodaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan Di NTT (Saksiminor) telah menyatakan sikap tegas adili pelaku dan perlindungan korban.
Sedangkan “Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Anak” melakukan aksi dan menyerahkan Petisi kepada Kapolda NTT.
Mereka menutut agar Polri bersikap adil dan menuntut ada hukuman tegas terhadap pelaku, meskipun berlatar perwira polisi.
Pasal dan penerapan hukum bagi pelaku: Kok meringankan?
Dalam aksi Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual terhadap Anak, 10 orang perwakilan peserta aksi diundang masuk oleh Kabid Humas Polda dan Penyidik kasus kekerasan terhadap 3 anak, dan saat itu dibuka pasal-pasal hukum yang hendak diterapkan pihak kepolisian terhadap perwira AKBP Fajar.
Secara berurutan pasal-pasal yang dipakai penyidik adalah:
- UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12 Tahun 2022)
Pasal 6 huruf c: Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana.
Pasal 12: Setiap orang yang menyebarluaskan, menyiarkan, atau menampilkan konten bermuatan kekerasan seksual dapat dikenakan sanksi pidana.
Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b: Setiap orang yang memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual atau mengambil keuntungan dari tindak pidana tersebut dapat dipidana.
Pasal 15 ayat (1) huruf e, g, j, l: Menjerat pelaku yang terlibat dalam pembuatan, penyebaran, atau eksploitasi konten yang berkaitan dengan kekerasan seksual. - UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No. 1 Tahun 2024 - Perubahan Kedua)
Pasal 27 ayat (1): Setiap orang yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya konten bermuatan pornografi dikenakan pidana.
Pasal 45 ayat (1): Ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 ayat (1) dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar.
Jika kita teliti, pasal-pasal yang dipakai di atas ini tidak memenuhi rasa keadilan bagi ketiga anak karena sangat umum, hanya sebagian kecil mengatur tentang perlindungan anak.
Padahal Indonesia telah mempunyai UU Perlindungan Anak. Tindakan pelaku harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya sebagai bentuk perlindungan dan keadilan bagi korban, selain memberi efek jera bagi pelaku.
Bila ditelaah lebih jauh, tindak pidana oleh pelaku Fajar mencakup beberapa aspek:
- Kekerasan seksual terhadap anak,
- Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan tujuan eksploitasi seksual,
- penyebaran konten pornografi yang melibatkan anak
- Transaksi elektronik yang merugikan korban.
Seharusnya secara yuridis, selain pasal yang diterapkan dalam UU TPKS dan ITE, semestinya Penyidik wajib menerapkan:
- UU Perlindungan Anak UU No. 35 Tahun 2014.
Pasal 76E: Eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana maksimal 20 tahun penjara.
Pasal 81: Kekerasan seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana 5 hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar. - UU no 17 tahun 2016 Tentang Pengesahan Perpu no. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Perlindungan Anak, penambahan pada Pasal 81, Ayat 5: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ayat 7: “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. - UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO No. 21 Tahun 2007). UU TPPO ini harus diterapkan karena memenuhi unsur : Proses, Cara dan Tujuan. Menjadi pertanyaan, mengapa tidak diberlakukan?
Pasal 2 UU TPPO No.21/2007 menyebutkan : Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000. - UU Pornografi (UU No. 44 Tahun 2008) Pasal 37: Pejabat negara yang terlibat dalam produksi atau penyebaran konten pornografi dapat dikenakan pidana yang lebih berat.
Seharusnya jika Kapolda NTT dan para penyidik mau bersikap adil terhadap korban, sekaligus sebagai bentuk penyesalan institusi Polri bahwa ada pejabat Polri telah melakukan hal yang amat sangat tabu dan mengganggu rasa keadilan masyarakat maka keempat UU ini semestinya diterapkan juga karena telah memenuhi unsur pidana.
Jika Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Surat Dakwaan lemah, maka dapat menyebabkan hukuman ringan bagi pelaku.
Bahkan jika penyidik jeli, ‘jabatan pelaku’ sebagai Kapolres dapat menjadi pemberat hukuman.
Sebab tertulis dalam Pasal 81 ayat 3 UU Perlindunga Anak bahwa : “ Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Untuk itu seharusnya Kapolda NTT bertanggungjawab dan memulihkan rasa keadilan untuk keluarga dan masyarakat dengan cara mengadili pelaku yang sudah dibawa ke Jakarta dengan seadil-adilnya.
Seharusnya penyidik Polri dan Jaksa menerapkan pasal-pasal ini demi keadilan bagi korban, keluarga dan masyarakat NTT serta efek jera bagi pelaku.
Aparat Kepolisian RI harus menyadari tingginya angka kejahatan seksual. Tanpa ada hukuman keras, kasus krimimal angka beruntun setiap tahunnya.
Secara khusus seharusnya hukum tidak dibuat tumpul untuk aparat. Tanpa komitmen Polri untuk menegakan hukum di dalam institusi, tidak mungkin Polri menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan seksual terhadap anak.
Veronika Ata
Advokat dan Ketua LPA Nusa Tenggara Timur
Surat Untuk Kapolda NTT